17 September, 2008

Ekonomisasi dan Politisasi Dunia Pendidikan

Oleh :

David Satria Jaya

Aktivis Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia

Pada 7 Agustus 2008, sekitar 80 mahasiswa Universitas Lampung melakukan demo di rektorat. Mereka menilai Unila telah melakukan komersialisasi kampus dengan menggelar ujian masuk Unila (Lampost, 8-8).

Ada fenomena yang mengkhawatirkan dalam pendidikan nasional kita akhir-akhir ini, yang apabila dicermati sejatinya menjurus pada kecenderungan terjadinya proses dehumanisasi pendidikan. Nilai-nilai pendidikan yang humanis tergerus visi dan praksis pendidikan yang makin pragmatis.

Di satu pihak, visi pendidikan terdistorsi muatan kepentingan politik dan kekuasaan. Di pihak lain, pendidikan direduksi maknanya hanya dari perspektif ekonomi sehingga manusia dipandang hanya dari dimensi human capital yang keberhasilannya diukur dari nilai tambah dan daya saing individu yang bisa dihasilkan melalui praksis pendidikan.

Kondisi ini diperberat dengan masih kuatnya penetrasi kekuasaan dan kalkulasi politik dalam penentuan arah kebijakan pendidikan. Penggusuran sekolah untuk pembangunan mal, supermarket, hotel atau sekadar sarana rekreasi semacam water boom hanya beberapa contoh aktual yang makin menguatkan kecenderungan itu.

Kecenderungan itu kini telah mengubah fungsi institusi pendidikan yang humanis menjadi pranata bisnis yang dikendalikan pemilik modal dan kekuasaan. Institusi yang semula sebagai wadah edukatif untuk menempa, melatih, mendidik anak manusia agar dapat menjalani hidup di masyarakat telah berubah menjadi wadah untuk mengeruk keuntungan.

Pada jenjang sekolah dasar dan menengah, sejumlah kewajiban yang bermuara pada pengeluaran uang yang harus ditanggung orang tua telah menjadi tradisi yang tidak lagi dianggap sebagai sesuatu yang luar biasa. Pembudayaan pungutan uang kas, sumbangan uang masuk, pakaian seragam sekolah dan seragam olahraga, pembelian buku, biaya pembuatan kartu pelajar dan kartu perpustakaan, serta sejumlah pungutan lain telah memulas wajah pendidikan kita menjadi tidak lebih dari pranata bisnis yang memosisikan sekolah sebagai pasar dan peserta didik sebagai pembeli barang atau jasa.

Akar masalahnya tidaklah sederhana. Yang menjadi simpul persoalan, mengapa praktek semacam itu bisa terjadi di lingkungan pendidikan? Mengapa hegemoni ekonomi yang ditopang penetrasi kekuasaan begitu kuat mencengkeram dunia pendidikan? Iklim dan lahan tempat berseminya pendidikan telah mengalami evolusi sosial yang menjurus pada proses dehumanisasi, yang mengedepankan ekonomisasi dan politisasi pada semua dimensi kehidupan. Wacana dominan pembangunan nasional dari era Orde Baru hingga kini selalu mengedepankan statistik pencapaian dari kalkulasi ekonomi sebagai parameter keberhasilan atau ketidakberhasilan pembangunan.

Keberhasilan pendidikan misalnya, juga diukur dari persentase angka partisipasi kasar wajib belajar, angka kelulusan ujian nasional dan berbagai penghitungan statistik lain yang serupa.

Lalu, mengapa penyimpangan orientasi pendidikan itu pada takaran tertentu, seakan-akan memperoleh legitimasi dan masyarakat menganggapnya sebagai kecenderungan yang biasa? Bisa jadi masyarakat pun sudah terkontaminasi dengan pola pikir ekonomis dan pragmatis sehingga makin menyisihkan pertimbangan-pertimbangan etis, moral, dan agama.

Kecenderungan pragmatisme, yang lebih spesifik lagi menjurus pada ekonomisasi dan politisasi dalam berbagai dimensi kehidupan, sejatinya menghadirkan dampak sosial, kultural, dan moral yang serius.

Dalam spektrum luas, kebiasaan mengedepankan pertimbangan ekonomi menyebabkan segala sesuatu diukur dari parameter untung rugi secara material, politis, dan ekonomis. Tatkala pengambil kebijakan, pengelola, dan pelaksana pendidikan terperosok dalam pola pikir seperti ini, falsafah dasar pedagogi, etika, dan mutu menjadi terabaikan. Dalam konteks seperti ini, kegiatan mendidik tidak lagi berlangsung secara manusiawi dan ikhlas, tetapi penuh pamrih dan eksploitasi.

Tidak mengherankan jika dalam konteks itu sebuah universitas menampung sebanyak mungkin mahasiswa untuk memperoleh keuntungan sebanyak-banyaknya dari jasa mendidik mahasiswa. Pertimbangan ekonomi yang dominan. Akibatnya, seleksi penerimaan mahasiswa tidak lagi memperhitungkan passing grade secara akademik karena semua yang mendaftar dianggap sebagai calon pelanggan yang berpotensi memberikan keuntungan secara ekonomis kepada penyelenggara pendidikan.

Akibat lebih jauh adalah turunnya kualitas input, proses, dan hasil pendidikan. Penurunan ketiga aspek penting ini sudah pasti berdampak turunnya daya saing lulusan dan institusi yang bersangkutan.

Selain ekonomisasi, ada juga kecenderungan politisasi merasuk berbagai sendi kehidupan kita. Tidak saja dalam bidang politik dan pemerintahan, melainkan juga dalam bidang pendidikan, kebudayaan, kesenian, komunikasi massa, bahkan agama pun tidak luput dari jerat politisasi. Akibatnya, kita tidak akan pernah mendapatkan the right man on the right place dalam berbagai bidang sehingga sulit diharapkan pemecahan masalah yang tepat atas krisis multidimensi yang hingga kini masih mendera bangsa ini. Imbasnya dalam konteks pendidikan, penentuan arah kebijakan dan strategi pengembangan pendidikan pada level nasional dan lokal tidak bertolak dari skala prioritas, tapi dari kepentingan-kepentingan sesaat bernuansa politis.

Tidak dapat dimungkiri, seperti halnya dalam dimensi kehidupan yang lain, dalam ranah pendidikan pun tidak ada sesuatu yang netral dan bebas dari muatan kepentingan. Pendidikan dapat dimanfaatkan sebagai kendaraan untuk menggiring anak didik ke arah logika sistem yang dikembangkan generasi sebelumnya. Ia dapat digunakan sebagai peranti indoktrinasi untuk membiasakan generasi muda mengikuti atau menyesuaikan dengan sistem yang ada.

Pada konteks ini, anak didik hanya dianggap sebagai objek yang senantiasa menjadi sasaran dari tindakan yang dilakukan subjek atau sekadar sebagai pelengkap penderita.

Namun, pendidikan juga dapat dijadikan ajang praktek pembebasan dari ketidaktahuan ke pengertian, dari ketidakberdayaan ke pemberdayaan, serta dari ketidaksadaran ke kesadaran. Inilah yang seharusnya menjadi fokus dari praksis pendidikan kita. Apa implikasinya?

Kita perlu membebaskan praktek dehumanisasi pendidikan dari belenggu ekonomisasi dan politisasi serta mengembalikan fungsinya agar dapat menjadi sarana bagi penemuan jati diri manusia serta peningkatan daya pikir, nalar, keterampilan, dan pembentukan karakter berlandaskan nilai-nilai agama dan etika sehingga tujuan pendidikan nasional untuk menciptakan manusia utuh tidak sekadar menjadi retorika. Dengan begitu, pendidikan dapat dikembalikan pada fitrahnya untuk menjadikan manusia-manusia yang bertanggung jawab atas kesejarahannya selaku subjek yang mandiri, merdeka, dan memiliki daya antisipatif terhadap masalah-masalah kehidupan yang dihadapinya.

Sumber : Lampung Post, tanggal 23 Agustus 2008