22 November, 2008

Redefenisi Otonomi Daerah

Oleh :

David Satria Jaya*

Mahasiswa Ilmu Administrasi Negara

FISIP – Unila



Sepertinya sungguh menarik jika dapat turut serta dalam acara diskusi dengan tema Evaluasi otonomi daerah yang diselenggarakan oleh Lampung Post, Selasa (11-11). Terkait dengan benang merah dari diskusi tersebut, tampaknya kebijakan otonomi daerah di Indonesia memang belum sesuai harapan publik dan cenderung bergerak tanpa arah. Sehingga, interpretasi dan implementasi kebijakan desentralisasi mulai dikhawatirkan sebagian masyarakat. Pada awalnya, dengan lahirnya kebijakan desentralisasi, harapannya akan menoreh sikap optimisme dan harapan besar yakni terciptanya jawaban atas kerumitan persoalan yang mendesak dan mendera pasca runtuhnya rezim developmentalisme Orde Baru. Sehingga kebijakan ini dijanjikan sebagai kutub berlawanan terhadap sistem politik dan struktur keuangan terpusat yang digunakan penguasa saat itu.

Namun setelah pelaksanaan otonomi daerah berjalan (pasca reformasi tahun 1998), otonomi daerah ternyata malah melahirkan oligarki lokal dan elitisme. Artinya, otonomi daerah belum bisa membangun akuntabilitas keterwakilan dan mandatnya, baik dalam hubungan pusat-daerah maupun pengelolaan daerah. Memang terjadi perubahan konteks, tetapi ada kesinambungan perilaku. Ada perubahan prosedural, tetapi terjadi kesinambungan substansi. Ada perubahan rezim, tapi terjadi pula kesinambungan elite. Kebijakan desentralisasi ini juga memunculkan pemekaran wilayah yang belum mampu meningkatkan tataran kesejahteraan rakyat secara signifikan. Yang pasti, tidak ada bedanya kondisi rakyat sebelum dan sesudah otonomi daerah.

Bila ditelaah, munculnya gagasan besar otonomi daerah dan desentralisasi memang bukanlah hal baru karena pernah muncul di era kolonialisme hingga awal kemerdekaan. Namun, ketika desentralisasi dan otonomi daerah baru muncul pada 2001, pemerintah pusat maupun daerah sama-sama belum siap untuk mendesentralisasi dan berotonomi daerah. Akhirnya hanya melahirkan kegamangan otonomi. Padahal, kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah semula diharapkan mampu mewujudkan tatanan sistem pemerintahan daerah yang lebih demokratis, mempercepat tercapainya kesejahteraan dan kemakmuran rakyat, serta meningkatkan kapasitas publik. Dalam kenyataannya sungguh jauh berbeda.

Bila dikaji lebih dalam, mengapa hal itu terjadi dan menjadi persoalan bangsa saat ini? tiada lain penyebabnya yaitu ; pertama, perilaku para elite penyelenggara pemerintahan daerah tetap memakai paradigma lama, paradigma Orde Baru. Maka yang muncul bukanlah sikap melayani pemenuhan distribusi keadilan dan kesejahteraan rakyatnya. Tetapi, memperdaya rakyat sebagai pemenuhan kepentingan raja-raja kecil dalam bingkai otonomi daerah. Kedua, adanya kesenjangan besar antara perubahan pada tataran konseptual dengan perubahan pada tingkat pemahaman dan perilaku penyelenggara pemerintahan daerah. Ketiga, terjadinya perselingkuhan antara elite penguasa dan elite masyarakat.

Selain itu, terjadi otonomi daerah hanya memperkaya dan mempersubur penguasa lama dan baru. Jadi sangat wajar bila sebagian komunitas masyarakat berkehendak agar ditinjau kembali dan menggugat mimpi otonomi daerah dan desentralisasi. Dengan argumentasi antara lain ; pertama, keharusan merekonstruksi pemahaman desentralisasi dan otonomi daerah yang selama ini munculnya pemekaran wilayah hanya didasarkan pada muatan politik bukan pada pemenuhan akan hak-hak kesejahteraan rakyat.

Kedua, merehabilitasi mental penyelenggara pemerintahan daerah sebagai pelayan publik dan bukan penguasa serta raja-raja kecil. Pada sisi lain, belum optimalnya proses desentralisasi dan otonomi daerah yang disebabkan perbedaan persepsi para pelaku pembangunan terhadap kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah. Persepsi yang belum sama antara para pelaku pembangunan baik di jajaran pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan para pelaku pembangunan lainnya telah menimbulkan berbagai permasalahan dalam penyelenggaraan pemerintahan, yang pada akhirnya mengakibatkan pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat belum meningkat secara nyata sebagaimana diharapkan.



Pilar Otonomi Daerah



Berdasarkan data yang ada, terdapat sekurangnya empat pilar otda yang dilanda arus balik. Pertama ; pilar politik elektoral, ditandai munculnya wacana pergantian sistem pilkada langsung (pilkadal) dengan kembali memakai sistem tak langsung, seperti pemilihan oleh DPRD (usulan PBNU) atau pengangkatan gubernur oleh presiden (rekomendasi Lemhannas). Alasannya bersifat teknis, pilkada memakan biaya besar dan tidak efisien.

Kedua, pilar pelayanan publik, ditandai inkonsistensi kerangka kebijakan pusat bagi reformasi birokrasi lokal. Fakta di sebagian daerah menunjukkan, sistem pelayanan terpadu (one stop service) terbukti sukses menjadi titik masuk pembaruan civil and public service. Pelayanan birokrasi berlangsung lebih cepat, jelas dan murah, dengan kinerja yang relatif profesional dan humanistik. Grafik kepuasan dan kepercayaan publik dan pelaku bisnis juga meningkat dibandingkan dengan masa sebelumnya.

Sedemikian jauh daerah telah melangkah, ternyata pusat tak siap dan malah bertendensi negatif. Langgam kebijakan tidak saja maju-mundur, tapi bahkan mempraktikkan gerakan patah-patah, suatu waktu daerah didorong maju (Permendagri No.24/06), tak lama berselang lalu dipreteli (PP No.41/07). Akibatnya daerah pecah dalam dua sikap : nekat jalan terus atau sebaliknya apatis (bermain aman).

Ketiga, pilar keuangan daerah, ditandai diskrepansi antara desentralisasi fiskal yang semakin kuat dengan administrasi perencanaan dan pengelolaannya yang kurang efektif. Seiring gonta-ganti aturan induk (Kepmendagri No.29/02, Permendagri No.13/06, kini Permendagri No.59/07), tidak saja mengganggu sistem penganggaran/APBD, tetapi asas Anggaran Berbasis Kinerja yang menjadi roh reformasi administrasi keuangan daerah turut memudar.

Akhir dari semua itu, diperparah lagi oleh SDM pemda/DPRD dan aturan yang sering tak konsisten sehingga menjadi sebuah bumerang bagi aparatur dan stakeholder, sehingga berdampak pada rendahnya daya serap APBD dan terjadi dalam beberapa tahun terakhir ini. Dapat dipahami, jika ada alih-alih menggandakan belanja modal bagi program kesejahteraan rakyat, sebagian besar uang justru habis membiayai birokrasi atau diparkir sebagai dana nganggur berbentuk SBI yang tak produktif. Di sini ada missing link dalam relasi intrinsik antara desentralisasi fiskal, administrasi keuangan, dan agenda pembangunan. Ini adalah wujud kejahatan anggaran yang serius, hanya setingkat di bawah korupsi.

Keempat, pilar manajemen otda, ditandai kaburnya sistematika kerja dalam beberapa agenda kunci. Belum lama ini misalnya, Presiden SBY meminta agar problem lokal tidak selalu diusung ke istana dan cukup diselesaikan pemda setempat. Ini mestinya dilihat sebagai otokritik bagi pusat sendiri yang baru berfungsi memproduksi regulasi, dan acuh tak acuh dalam menjalankan tugas lanjutannya, penguatan kapasitas pemda. Jadi jangan heran jika pemda sulit menjadi tempat penyelesaian masalah bagi warganya, sebab masalah pemda sendiri pun kerap dibawa ke Jakarta (pemerintah pusat) .

Pilar-pilar tersebut bukan saja menjadi sendi inti dalam otda tetapi juga ciri pokok yang mewakili hadirnya otonomi daerah di ranah masyarakat. Sebaliknya, hilangnya pilar-pilar tersebut, atau terlalu banyaknya masalah yang mengitarinya, menandai absennya otonomi dalam relung kehidupan rakyat, sekaligus bukti kalau mereka belum menyatu dalam kerangka sistem yang ada.


(Sumber : Lampung Post, 22 November 2008)