09 April, 2008

Kumpulan opini lampost yg Q buat, Baik atas nama Q maupun tmen2 Q

Forum 1:Hari Pahlawan, Formalitas?

Selvi Gustiana

Mahasiswa Bahasa Inggris, Teknokrat

HAMPIR semua orang tahu jika tanggal 10 November selalu diperingati sebagai Hari Pahlawan atau paling tidak kita masih ingat. Bicara tentang pahlawan, siapa pun memiliki pahlawan, setidaknya bagi diri sendiri.

Muhammad Hatta, misalnya, dikenal sebagai proklamator Indonesia. Dan kita memujanya sebagai pahlawan. Namanya tergandeng saat menyebut Soekarno, Presiden pertama negeri ini. Baru-baru ini Bung Hatta mendapat anugerah sebagai salah satu pahlawan Asia versi Majalah Time dan kita layak berbangga dengan itu.

Ketika mendengar kata-kata pahlawan, lantas teringat dengan petuah ajaran turun-temurun yang menyebutkan bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa para pahlawannya. Memang sangat subjektif jika kita berbicara tentang penghargaan pada pahlawan. Lalu idealnya seperti apa cara kita menghargai jasa para pahlawan tersebut? Apakah hanya cukup dengan upacara tahunan yang digelar di berbagai tempat di seantero negeri ini ataukah lebih dari pada itu?

Penghargaan terhadap jasa para pahlawan itu seharusnya tak hanya sekadar formalitas, akan tetapi lebih dari pada itu. Ada makna yang lebih substantif berkaitan dengan peringatan hari pahlawan itu sendiri, yaitu semangat perjuangan dan kerja keras para pahlawan dalam merebut kemerdekaan bangsa ini.

Berlanjut tentang formalitas, negeri ini sepertinya kelewat kaya dengan hal-hal yang bernama formalitas. Ya! sekadar formalitas saja "asal kelihatan bentuknya", kalimat itu sering terdengar. Penghargaan pada pahlawan pun tak lebih sekadar formalitas. Monumen Tugu Pahlawan misalnya, sekadar penanda. Asal masih menjulang, ya berarti masih ada.

Masih untung tersaput pulas cat meski setahun sekali, yakni menjelang peringatan Hari Pahlawan atau Makam W.R. Supratman pengarang lagu "Indonesia Raya" itu malah bisa dibilang memprihatinkan. Makam tersebut berada di sudut Kota Surabaya, tak terurus. Inikah bentuk penghargaan? Entahlah, masih percaya bahwa penghargaan memang bersifat subjektif.

Enam puluh dua tahun sudah kemerdekaan yang diwariskan para pahlawan bangsa kepada anak cucunya. Usia tersebut bagaikan orang tua yang telah berada di ujung senja.

Suasana bahagia dan rasa bangga bisa jadi ia nikmati, jika melihat anak cucunya yang telah berhasil dan mampu mewarisi hasil usaha dari jerih payah perjuangan hidupnya. Kekecewaan yang mendalam mungkin juga ia rasakan, manakala anak cucunya tersebut tidak mampu memaknai dan memanfaatkan warisan perjuangan itu.

Potret suasana hati para pahlawan bangsa ini sebenarnya selalu dapat kita rasakan pada perayaan Hari Pahlawan setiap tahun. Kebanggaan mengibarkan bendera Merah Putih yang merupakan lambang keberadaan dan kedaulatan bangsa ini, sudah semestinya menjadi suatu keharusan bagi setiap anak bangsa yang hidup di bumi ibu pertiwi ini.

Kemerdekaan bukanlah hadiah dari penjajah melainkan pengorbanan yang cukup besar dari para pendahulu bangsa ini. Para pejuang, berani menghadapi maut yang setiap saat dapat menyergap dan berjuang sampai tetes darah penghabisan demi mempertahankan setiap jengkal tanah yang ada.

Berkorban nyawa dan harta benda demi mendukung suatu perjuangan untuk suatu kebersamaan dalam merebut kemerdekaan. Berputus tangan, berpatah kaki serta bermandikan darah yang mengucur tanpa henti, tapi sang Merah Putih tetap dipertahankan untuk tetap berkibar di dalam genggamannya.

Pekikan "Allaaaaahu Akbar!" diteriakkan untuk membakar semangat perjuangan, sembari mengharapkan kekuatan dari Tuhan Sang Pencipta demi tegaknya negara Republik Indonesia yang kita cintai ini.

Masih pantaskah kita melupakan perjuangan para pahlawan bangsa ini? Sikap patriotisme dan solidaritas tersebut semestinya harus menjadi teladan bagi kita dalam membangun bangsa dan mengisi kemerdekaan.

Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa pahlawannya. Demikian yang pernah diucapkan proklamator negeri ini. Mereka yang telah gugur mendahului kita, demi kemerdekaan bangsa ini, sungguh naif jika pintu gerbang kemerdekaan itu tidak kita isi sebaik-baiknya.

Saya khawatir dengan memudarnya semangat nasionalisme, ke depan bangsa yang besar ini akan "pecah" berkacai-kacai menjadi beberapa bagian. Padahal, cita-cita perjuangan pahlawan bangsa ini sudah jelas menyatukan nusantara mulai Sabang sampai Merauke.

Sayang, dalam konteks kekinian saja kita tidak bisa mengatakan Indonesia terdiri dari Sabang sampai Merauke, tapi sudah minus Timor-Timur, Sipadan, dan Ligitan. Lalu, akibat memudarnya semangat nasionalisme ini, apakah Indonesia ke depan akan berkurang dari beberapa wilayah lainnya? Bangsa yang kerdil adalah bangsa yang tidak menghargai jasa pahlawannya.

Slogan ini sangat mungkin terjadi, apabila kita menjelma tanpa tersadari menjadi kelompok masyarakat yang tidak mampu menghargai jasa para Pahlawan bangsa ini hanya karena suatu sebab tidak mampu memaknai peringatan Hari Pahlawan itu sendiri.

Selvi Gustiana

Mahasiswi Bahasa Inggris Teknokrat

Dalam memenuhi tuntutan reformasi nasional yang digulirkan mulai 1998, TNI sebagai bagian dari komponen bangsa telah mencanangkan paradigma baru dan reformasi internalnya. Paradigma baru dan reformasi internal TNI adalah kemauan introspektif dan prospektif TNI untuk menata diri dalam upaya menempatkan diri secara tepat dan lebih fungsional bersama fungsi-fungsi yang lain dalam tatanan kehidupan nasional.

Dengan melaksanakan redefenisi, reposisi dan reaktualisasi peran, berarti TNI telah berupaya merefungsionalisasikan perannya sejalan dengan dinamika dan tuntutan reformasi nasional. Dengan demikian, refungsionalisasi peran TNI merupakan kebutuhan bagi TNI maupun bagi bangsa Indonesia. Adapun fungsi disini dapat diartikan sebagai konsekuensi-konsekuensi yang dapat diamati sehingga menimbulkan adaptasi atau penyesuaian dari sistem tertentu.

Melalui berbagai langkah reformasi internalnya, TNI telah berupaya meninggalkan faktor-faktor yang di masa lalu dinilai disfungsi. Seperti tidak lagi berdwifungsi, tidak terlibat dalam day to day politics dan tidak lagi berbisnis. TNI telah meninggalkan fungsi sosial politik dan fokus pada fungsinya sebagai alat negara di bidang pertahanan dan concern pada pembangunan profesionalismenya.

Akan tetapi, pertanyaannya sekarang adalah apakah setelah kurang lebih 62 tahun TNI terbentuk sejak tanggal 5 oktober 1945 dengan segala dinamika internnya, TNI sudah benar-benar fungsional sesuai dengan harapan kita bersama? Yang pasti, segala dinamika intern TNI tersebut tidak dilaksanakan di ruang hampa. Segala dinamika intern TNI tersebut, berlangsung di tengah kemajemukan bangsa yang masing-masing berhak menilai perjalanannya selama 62 tahun ini.

Karena itu, pertanyaan yang kemudian muncul adalah fungsional untuk siapa? Tidak mudah memang memberikan batasan-batasannya. Meski demikian, dengan memosisikan keberadaan TNI di tengah-tengah kehidupan bangsa ini, fungsional tidaknya TNI sangat terkait dengan stakeholder yang ada. Sebagai contoh, fungsional tidaknya TNI bagi negara terletak pada bagaimana negara memosisikan TNI sebagai bagian dari komponen bangsa ini.

Jika persoalan TNI di masa lalu adalah karena TNI mengemban dwifungsi yang dalam implementasinya terjadi bias dan eksesif, maka saat ini TNI telah meninggalkan dwifungsi dan berbagai bentuk implementasinya yang bias dan eksesif tersebut. Reformasi TNI telah menghasilkan tidak kurang dari 31 buah perubahan dan telah adanya perundang-undangan yang memayungi perubahan peran, fungsi dan tugas pokok TNI.

Peraturan perundang-undangan tersebut telah memberikan batasan dan payung hukum yang jelas sehingga dapat mencegah dari kemungkinan tindakan eksesif yang menyebabkan TNI menjadi disfungsi seperti di masa lalu maupun kemungkinan-kemungkinan intervensi dari luar yang inkonstitusional dan tidak proporsional. Karena itu, persoalannya adalah bagaimana konsistensi TNI sendiri maupun komponen bangsa yang lainnya terhadap format dan ketentuan-ketentuan yang telah ada tersebut.

Forum 2:Refleksi 2 Tahun Kepemimpinan E-K

David Satria Jaya

Mahasiswa Ilmu Administrasi Negara, Unila

Dalam membangun sebuah kota yang beradab di tengah kehidupan masyarakat yang semakin sulit untuk dikendalikan dalam beragam kondisi, kota butuh pemimpin yang memiliki sikap jelas terkait hendak dibawa ke mana kota tersebut. Kota perlu memiliki arah jelas karena ia menjadi sebuah wilayah yang akan memengaruhi wilayah-wilayah di sekitarnya.

Kemajuan kota menjadi barometer semakin majunya daerah sekitar. Kota menjadi tempat berkembangnya budaya modern dengan segala eksesnya, tempat perputaran keuangan yang luar biasa besar, tempat konsentrasi penduduk tertinggi dan lokasi konsentrasi keluarnya kebijakan terkait kesejahteraan masyarakat. Jika kota tidak bisa mencerminkan diri bahwa ia memang layak dijadikan acuan, panutan, dan pedoman, hal tersebut akan berdampak pada semakin buruknya kondisi wilayah di sekitarnya.

Karena itu, dalam pengelolaan kota, yang dibutuhkan bukan sekadar memahami apa yang dirasakan masyarakat secara tepat, tetapi yang lebih utama adalah pengambilan keputusan dan menjalankan program secara tepat dan efektif.

Semenjak menjadi Wali Kota Bandar Lampung, kita memang belum pernah melihat ada suatu polemik yang diputuskan nasibnya oleh Eddy Sutrisno hingga benar-benar tuntas, semuanya selalu mengambang. Jika dikatakan proses realisasi atas keputusan yang dia ambil membutuhkan waktu untuk bisa dibuktikan, selama dua tahun ia memimpin, kita tidak bisa merasakan ruh itu.

Tentu saja kita harus menelaah, ada apa sebenarnya dengan kepemimpinan Eddy Sutrisno dan Kherlani ini? Apakah benar mereka tidak memiliki bargaining untuk memutuskan suatu hal karena takut kehilangan pamor di mata masyarakat, ataukah mereka memang tidak memiliki komitmen yang kuat untuk mengatasi permasalahan di Kota Bandar Lampung?

Bisa jadi juga, aparatur di bawahnya yang tidak mampu mengatasi persoalan yang ada, yang telah Edi-Kherlani delegasikan ke masing-masing Satker. Tapi jika itu yang dijadikan alasan, jangan lupa bahwa Edi-Kherlani telah beberapa kali melakukan pergantian pejabat dan hasilnya? Jika tidak ada perubahan, berarti rolling sia-sia saja bagi masyarakat kota.

Saya kira, beban moral Edi-Kherlani sangat tinggi terhadap nasib Kota Bandar Lampung saat ini. Secara politik, gagal atau berhasilnya Edi-Kherlani, terutama Eddy Sutrisno, juga akan berdampak pada nasib partai yang ia pimpin saat ini, yaitu Partai Golkar Kota Bandar Lampung.

Melakukan sinkronisasi atas kepentingan pemerintahan, kepentingan politik, dan kepentingan warga kota, memang membutuhkan talenta khusus. Sayangnya, warga kota belum melihat wujud talenta Eddy Sutrisno dalam mengelola kota ini. Rapat koordinasi antara seluruh kepala dinas dengan kepala daerah (Edi-Kherlani), juga teramat sangat jarang. Hal ini akhirnya berdampak pada keputusan yang mencla-mencle seperti bola liar.

Kebijakan yang diambil suatu dinas seringkali terhalang oleh kebijakan dinas lain dan kepala daerah seolah menyerahkan seluruhnya pada "mekanisme pasar" (baca: dinas). Tidak jarang, Edi-Kherlani turun tangan ketika persoalan telah menjadi polemik. Namun terkadang juga, apa yang diperintahkan oleh Edi-Kherlani tak juga kunjung diterjemahkan dengan baik oleh dinas.

Akhirnya saat ini ada pihak yang mencurigai, apa yang menjadi statement Edi-Kherlani ke publik adalah berarti hal yang sebaliknya yang mesti dilakukan oleh dinas teknisnya. Akhirnya, saya kira Edi-Kherlani harus mengubah cara menjalankan pemerintahan di kota ini agar lebih baik lagi ke depannya.

Forum 2:Keluarga, Benteng Pertama Narkoba

Imam Forandes Roza

Mahasiswa Fakultas Pertanian Unila

PREVALENSI penyalahguna narkoba saat ini sudah mencapai 3.256.000 jiwa dengan estimasi 1,5% penduduk Indonesia adalah penyalahguna narkoba. Maraknya peredaran narkoba di Indonesia merugikan keuangan negara sebesar Rp12 triliun setiap tahunnya.

Data yang diperoleh dari BNN menyebutkan 15.000 orang meninggal akibat penyalahgunaan narkoba. Dari jumlah tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa 40 nyawa per hari harus melayang akibat narkoba.

Upaya-upaya komprehensif seperti supply control, demand reduction dan harm reduction memang terus dilakukan, tetapi angka-angka tersebut tidak memperlihatkan penurunan. Oleh karena itu, dibutuhkan usaha agar lebih mengedepankan orang-orang yang belum terkena narkoba yang jumlahnya jauh lebih banyak dari orang yang menyalahgunakannya.

Seperti kata pepatah, mencegah lebih baik daripada mengobati. Mau tidak mau sisi demand reduction atau upaya pencegahan adalah hal utama yang harus dilakukan, selain tentu saja terus melakukan supply control dan harm reduction bagi yang sudah terkena. Karena alasan itu pun, strategi nasional P4GN menempatkan strategi pencegahan pada poin pertamanya, yang diikuti oleh strategi terapi dan rehabilitasi, strategi penegakan hukum, serta strategi penelitian, pengembangan, dan informasi.

Apabila kita berbicara mengenai peredaran dan penyalahgunaan narkoba, maka yang sangat riskan terkena pengaruh serta dampaknya adalah kalangan pemuda dan remaja. Masa remaja adalah masa peralihan dari kanak-kanak ke dewasa, baik secara biologis maupun psikologis serta sosial.

Di satu pihak, remaja memiliki kemampuan orang dewasa, tetapi di lain pihak, ia belum memiliki kewenangan untuk menggunakan kemampuan tersebut. Keterbatasan cara pandang remaja menyebabkannya sulit menunda pemuasan keinginan seketika, sehingga ia lebih mirip anak kecil yang berbadan besar, daripada orang dewasa. Oleh karena itu, remaja rawan terhadap stres dan frustrasi, sehingga rawan menyalahgunakan narkoba.

Ciri remaja adalah ingin tahu dan ingin mencoba. Penggunaan narkoba biasanya bermula dari rasa ingin tahu, ingin mencoba, dan agar diterima lingkungan sosialnya. Remaja juga senang melakukan hal-hal yang mengundang risiko, seperti ngebut, merokok, dan mencoba narkoba. Ciri lain adalah kecenderungan melawan otoritas dalam rangka mencari identitas diri.

Hal tersebut sering menimbulkan ketegangan wajar antara remaja dan orang tua. Remaja berusaha mencari identitas dirinya dengan menerima nilai-nilai kelompok sebayanya, sehingga sering terjadi konflik dengan orang tua. Oleh karena itu, peran orang tua sangat penting.

Jika orang tua terlalu mengekang kebebasan anak, akan mengundang pembangkangan, atau sebaliknya, anak menjadi pasif, sehingga proses kedewasaan terhambat. Sebaliknya, jika orang tua terlalu membiarkan anak dan tidak memberikan batas-batas mana yang baik/buruk, dan mana yang benar/salah, maka remaja sulit mengendalikan kemauan bebasnya.

Remaja tumbuh menjadi generasi baru dengan nilai-nilai yang terlepas sama sekali dengan nilai-nilai dari generasi lama (yang disebut generation gap) dan yang lepas kendali.

Jika remaja mampu mengatasi masalah ini dengan mengembangkan jatidirinya di satu pihak, dan menghormati otoritas orang tua di lain pihak, proses ini akan menuntunnya menjadi dewasa. Oleh karena itu, orang tua perlu menjalin hubungan yang akrab dan terbuka dengan remaja.

Remaja perlu berlatih mengelola perasaannya, seperti rasa sedih, marah, jengkel, kecewa, benci, dan sebagainya, sehingga tidak mencari penyelesaian dengan lari dari masalah dan memakai narkoba. Remaja juga harus belajar menunda keinginannya dan tidak memaksakan kehendak. la harus bersikap realistis, tidak banyak menuntut dan hidup sesuai dengan kenyataan.

Untuk itu, sepakat atau tidak harus kita akui bersama bahwa lingkungan keluarga merupakan benteng pertama mencegah seseorang untuk jatuh ke lembah penyalahgunaan narkoba. Keluarga merupakan lingkungan pertama bagi setiap individu dalam pembentukan karakter dan perilakunya.

Dimulai dari keluarga, seorang individu dapat dibangun mental dan moralnya melalui pembelajaran budi pekerti dan sopan santun. Setelah itu barulah lingkungan masyarakat. Namun, yang menjadi permasalahannya sekarang adalah masyarakat di Indonesia masih belum mau terbuka ketika seorang anggota keluarganya terkena narkoba. Sehingga terkadang dapat menghambat proses penyembuhan dan penyadaran korban narkoba itu sendiri.

Padahal, seharusnya hal seperti itu jangan sampai terjadi, anggota keluarga harus selalu menerima ketika salah satu anggota keluarganya terkena narkoba. Karena dengan adanya pendampingan, ketulusan, dan perhatian orang tua, seorang anak yang terkena narkoba bisa dapat sembuh.

Selain itu, dukungan pemahaman hukum pada orang tua dan anak-anak remaja merupakan upaya yang mampu mencegah penyalahgunaan narkoba. Orang tua harus bersifat tegas dalam mencermati permasalahan anak-anak remaja di berbagai sudut kehidupan pergaulan. Tontonan maupun rayuan teman sebaya terkadang menjadi pengaruh yang bisa mengikis jatidiri seseorang. Utamanya pada pikiran, sikap, dan perilaku yang mengakibatkan generasi muda menjadi rapuh.

Tidak ada komentar: